Saya baru saja menjalani suatu program yang setiap tahun diadakan bagi siswi-siswi kelas XI di sekolah saya. Program tersebut disebut live-in. Memang sudah banyak pula sekolah-sekolah lain yang juga menjalani program ini, bahkan di SMP tempat saya bersekolah pun, sekarang program ini diadakan. Namun baru kali ini saya mendapat kesempatan untuk mengikuti live-in ini.
Desa yang kami tempati berada di dalam kabupaten Sleman. Lebih tepatnya lagi, sebagian dari kami ditempatkan di beberapa lingkungan di Paroki Klepu. Sedangkan sisanya bertempat di Samigaluh, Kulon Progo.
Bagi kami yang bertempat di Klepu, kami terbagi di beberapa daerah, seperti Pojok, Kleben, Sendangsari, dan Sendangrejo. Saya dan Nadia, teman sekamar saya, kebetulan mendapat
daerah Sendangrejo, yang kebetulan juga cukup jauh dari teman-teman saya yang lain.
Sebelum sampai ke rumah yang akan kami tempati, saya telah menyiapkan diri secara fisik ataupun mental, untuk melihat keadaan yang paling buruk yang dapat saya bayangkan. Saya tidak membawa keperluan-keperluan saya yang biasanya memenuhi meja rias di rumah saya. Saya tidak membawa bantal, selimut, atau boneka kesayangan saya (memang tidak punya sih). Saya tidak membawa sereal untuk menjaga-jaga kalau saya tidak akan menyukai makanan di sana. Saya hanya membawa kaos secukupnya. Saya sudah membawa deterjen untuk mencuci baju pakai tangan di sana. Ya, cukup. Intinya saya sudah benar-benar mempersiapkan diri saya untuk menginap selama 6 hari 5 malam di sebuah rumah yang keadaannya sungguh bertolak belakang dengan tempat tinggal saya di Jakarta.
Tanpa kami sangka-sangka, mobil yang mengantar kami dari paroki Klepu ke Sendangrejo tersebut berhenti di depan sebuah rumah yang jauh lebih baik dari ekspektasi kami. Jauh sekali.
Bagian lantai rumah seluruhnya sudah dilapisi oleh keramik, sedangkan dinding-dinding juga telah dicat dengan cat tembok. Kami sempat mengira, kami diturunkan di rumah yang salah. Tetapi ternyata tidak. Yang lebih mengagetkan lagi, orang tua kami di sana bekerja di kantor, dan memiliki toko pertanian. Mereka bukan petani, atau guru, atau tukang cuci, atau pengrajin, dan sebagainya. Mereka memiliki dua anak perempuan. Anaknya yang pertama baru saja lulus SMA, dan anaknya yang kedua baru saja menyelesaikan UN SMPnya. Rumah mereka sangat nyaman, cukup bersih, dan cukup luas. Mereka memiliki dua televisi, kulkas, rice cooker, dan kompor. Bahkan juga satu mobil, dan empat motor.
Hal tersebut semakin membuat saya bingung. Saya kira.. Desa yang akan kami tempati, tidak memiliki aliran listrik. Atau, rumah yang mereka tempati hanya berdinding bambu. Tetapi ternyata.. Saya dan Nadia diberi kesempatan untuk tinggal di tempat yang begitu nyaman. Kegiatan kami pun cukup beragam. Mulai dari pergi ke kota untuk menemani anak pertama Bapak dan Ibu untuk berkonsultasi mengenai kuliah, pergi ke gereja, doa rosario bersama, bermain layangan, bermain gamelan, membantu Ibu menyapu dan memasak, dan sebagainya.
Karena rumah yang kami tempati berlokasi cukup jauh dari rumah yang ditempati teman-teman kami lainnya, selama empat hari pertama kami sama sekali tidak bertemu dengan teman-teman lain. Dan jujur saja, saya sangat menikmati hari-hari itu. Hari-hari di mana kami lebih terfokus pada kegiatan live-in yang menekankan hubungan kami dengan keluarga yang bersangkutan, bukan bermain dengan teman-teman kami dari Jakarta yang tinggal sedusun. Lima hari tanpa fasilitas seperti di kota, seperti HP, laptop, internet, dll, sungguh menenangkan bagi saya dan Nadia. Kami pun cukup menikmati hari-hari itu. Hanya saja pada hari ke lima, kami sempat bertemu dengan beberapa teman kami yang ternyata memang ditempatkan di rumah-rumah yang cukup jauh dari rumah yang kami tempati. Mereka pun begitu antusias bercerita tentang keluarga baru mereka yang cukup beragam. Beberapa dari orang tua mereka bekerja sebagai petani dan guru. Sebagian dari mereka juga memiliki pengalaman menyentuh masing-masing.
Dan saya? Saya pun memiliki pengalaman yang menurut saya juga berbeda dengan mereka yang pergi ke sawah, ke sekolah tempat Bapak/Ibunya mengajar, atau ke pasar untuk membeli aneka jajanan dan bahan-bahan memasak. Saya juga mendapat banyak nilai-nilai baru yang sebelumnya tidak saya temukan di Jakarta. Hmm, mungkin pernah saya temukan, tetapi nilai-nilai itu lebih dapat saya hayati di Sendangrejo.
Bagi saya, makna kegiatan ini bukan semata-mata terlihat ketika kita pergi ke sawah, memberi makan kerbau di kandang, pergi ke pasar, atau bermain layangan. Namun saya lebih menekankan pada kehidupan yang jauh dari keluarga di Jakarta (atau tempat tinggal tetap kita lainnya), yang mengharuskan kita beradaptasi dengan keluarga baru di desa. Saya juga belajar untuk menerima orang lain apa adanya, tanpa melihat kita keturunan pribumi, Tionghoa, atau lainnya. Mereka di sana begitu terbuka, akrab satu sama lain, dan.. Hangat. Jujur saja, jarang sekali masyarakat seperti itu saya temukan di Jakarta.
Dan hari ini, saya pun kembali ke rumah dengan senyuman. Senyuman akan nilai-nilai baru yang saya peroleh, dan senyuman akan kehidupan kota Jakarta yang akan saya nikmati lagi.