Entah di negara mana pun juga, kondisi suatu negara akan bidang tertentu ditentukan oleh data yang bersifat kuantitatif serta dapat dibandingkan secara jelas besar atau tingkatannya satu dengan yang lain. Secara sederhana, kita terlalu sering menggunakan angka. Bahkan selama jenjang pendidikan sekalipun, segala jenis kualitas sesuatu ditentukan oleh angka. Ya, secara kualitatif.
Mungkin salah satu tujuannya adalah, untuk mempermudah penampilan data yang dapat dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tetapi masalahnya adalah, sepertinya negara kita selalu sering menggunakan angka. Melebihi negara-negara lain yang masih mengukur keseimbangan antara kualitas dan kuantitas. Terkadang kita terlalu terpaku pada angka-angka yang menunjukkan suatu kondisi atau tingkatan suatu bidang tertentu. Tingkat kemiskinan misalnya, yang menurut sumber besarnya sekitar 14,15%. Yang lebih sederhana lagi, misalnya seorang pelajar SMU mendapat nilai 9 untuk pelajaran Sosiologinya.
Yang saya permasalahkan di sini adalah, bagaimana angka-angka tersebut menentukan sebuah kualitas akan sesuatu?
Apakah angka kemiskinan yang tertera di atas menunjukkan bahwa kualitas masyarakat Indonesia (secara finansial) di luar 14,15% itu, baik?
Sebenarnya saya juga masih belum mantap akan tulisan ini. Masih rancu. Tetapi ada saja di benak saya bahwa kita terkadang terlalu dibudaki oleh angka-angka satu hingga sembilan yang mengelilingi kepala. Komentar ada saya tunggu.
Mungkin salah satu tujuannya adalah, untuk mempermudah penampilan data yang dapat dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tetapi masalahnya adalah, sepertinya negara kita selalu sering menggunakan angka. Melebihi negara-negara lain yang masih mengukur keseimbangan antara kualitas dan kuantitas. Terkadang kita terlalu terpaku pada angka-angka yang menunjukkan suatu kondisi atau tingkatan suatu bidang tertentu. Tingkat kemiskinan misalnya, yang menurut sumber besarnya sekitar 14,15%. Yang lebih sederhana lagi, misalnya seorang pelajar SMU mendapat nilai 9 untuk pelajaran Sosiologinya.
Yang saya permasalahkan di sini adalah, bagaimana angka-angka tersebut menentukan sebuah kualitas akan sesuatu?
Apakah angka kemiskinan yang tertera di atas menunjukkan bahwa kualitas masyarakat Indonesia (secara finansial) di luar 14,15% itu, baik?
Sebenarnya saya juga masih belum mantap akan tulisan ini. Masih rancu. Tetapi ada saja di benak saya bahwa kita terkadang terlalu dibudaki oleh angka-angka satu hingga sembilan yang mengelilingi kepala. Komentar ada saya tunggu.