I believe in Newton's Third Law

For every action there is an equal and opposite reaction.
It happens in reality. It really does.

Want to share about your thoughts?
Email me: daniawwrr@yahoo.com :)

Sunday, October 2, 2011

Seorang Pemilik Hendaknya Memelihara

Setelah sekian lama tidak menulis, akhirnya saya pun kembali dengan jutaan kata di dalam pikiran saya. Lebih tepatnya, saya kembali dengan ratusan ide yang saya catat di agenda saya setiap harinya. Di saat seorang guru sedang menjelaskan sesuatu, terkadang suatu ide datang dan mendorong saya untuk menuliskannya di dalam agenda saya itu. Hampir setiap hari saya memperoleh ide-ide baru yang seharusnya saya tuangkan ke dalam tulisan-tulisan. Namun waktu dan kesempatan seringkali menghambat keinginan saya. Semoga saja, suatu hari pencerahan itu benar-benar datang, dan saya pun bisa menuangkan segala aspirasi saya di sini.

Begitu banyak topik yang setiap harinya melintas di kepala saya. Semua itu bercampur aduk di dalam pikiran saya, terbungkus oleh sebuah niat untuk menumpahkannya pada suatu wadah besar yang tak terbatas. Topik-topik itu beragam, disertai dilematis-dilematis saya yang kerap kali membatasi langkah saya. Hingga detik ini pun saya belum tau ingin menulis apa, bagaimana, dan untuk apa. Begitu banyak topik, begitu banyak cerita, begitu banyak pengalaman, dan juga.. perasaan. Saya pun tidak punya untuk memikirkan sebab dari semuanya. Sebab yang mengakibatkan saya sulit sekali untuk meluangkan waktu demi sebuah tulisan di blog ini. Pendapat dan pemikiran saya pun harus tertahan, harus diredam terlebih dahulu.

Entah ada berapa hal yang sampai sekarang masih berjalan-jalan di dalam pikiran saya. Masing-masing hal berkeliling dan saling meleburkan diri satu sama lain. Semua itu pun semakin membuat saya bingung, tidak punya kemampuan lagi untuk mengungkapkannya satu per satu. Secara sistematis, mengalir, padat, dan jelas. Entah ke mana kemampuan itu. Entah di mana kemampuan itu sekarang.

Letak masalah tersebut bukanlah hanya pada saya. Bukanlah hanya pada kemampuan saya yang belakangan ini tidak lagi saya miliki, melainkan juga pada hal-hal yang saya pikirkan itu. Ya, memang tidak bisa lepas dari keterlibatan diri saya sendiri. Namun sejauh ini, pemikiran itu menurut saya begitu beragam dan kompleks. Saling berkaitan, tetapi tidak ada inti dari semua itu. Sebagian dari itu pun berupa mimpi-mimpi yang berisi suatu harapan dan khayalan.

Saya pun terlalu terpaku pada hal-hal yang sebenarnya tidak mengganggu saya secara langsung. Saya pun terlalu terpaku pada hal-hal yang sebenarnya tidak mendesak, dan tidak perlu saya pikirkan. Rumit, membingungkan, menjengkelkan, dan tak berujung. Semua seakan tumbuh dalam rupa pertanyaan-pertanyaan yang memaksa saya untuk mencari jawabannya.

Mungkin cukup. Mungkin saya perlu merangkum semua ide saya di dalam suatu kerangka yang nantinya dapat membantu saya mengungkapkan satu per satu ide tersebut. Semoga saya berhasil. Semoga saya juga berhasil dalam menjalankan 7 bulan terakhir di SMA ini. Lebih cepat lebih baik (mungkin).

Dan untuk saat ini, saya hanya bermimpi untuk melihat transportasi umum memadai di Jakarta. Sejauh ini, hanya kalimat itu yang benar-benar mendominasi pikiran saya.

Terimakasih telah membaca tulisan panjang dan kurang berisi ini.

Sunday, August 7, 2011

I Crumbled

I opened my eyes and noticed that you were no longer by my side.
I lifted my body and got up from the bed. I then gathered all my power and finally stood up. Expecting a miracle, I called up your name but got nothing.

I suddenly thought about a song by Rod Steward, and tried to believe that by closing my eyes, I would find you. But you didn't show up. And I felt dumb.

Walking a few miles away from my house, I screamed at the top of my lungs, hoping that you would hear it somehow. Till I was out of breath, and collapsed. All I had in my mind was you. And one more thing, I believe it was when everyone's thinking not to open his eyes to wake up.

In my unconsciousness, I saw you. You pulled me up and carried me all the way home. I could smell your body in my sleep. I was sure that it was you, though my eyes were not widely opened.

I knew you were here.
Your muscles, your palms, your breath.
Your lips.
Your heartbeat.
And the thing is, I could feel warmth, considering it was a cold damp night.

All of a sudden, I heard you calling out my name in my ears. I could feel your breath in your whispering voice. All I wanted to do was open my eyes widely as I had a smile on my face.

Then I did open my eyes and all I could see was my body, lying on the ground, a few miles away from home.
You were gone.

But the scent of your body was still scattered around the air.







































I finally had my power. I got up and felt my bones creaking.
I was broken into pieces, wishing you were here.

I crumbled.



















I cried but had no tears.
I crumbled.

Friday, July 8, 2011

The Beauty of Life

Photobucket

Taken in front of the lake near the main station in Lucerne, Switzerland.

Thursday, July 7, 2011

Let Me Start It Now

Photobucket
Old Town Square, Prague


12th of June '11 - 29th of June '11
Amsterdam, The Netherlands
Didam, The Netherlands
Den Haag, The Netherlands
Prague, Czech Republic
Lucerne, Switzerland
Zurich, Switzerland
Engelberg, Switzerland
Bern, Switzerland
Paris, France
Barcelona, Spain
Madrid, Spain
Rome, Italy
Venice, Italy
Then back to Jakarta.

I spent 17 days in Europe with my family this summer. It's almost the same like I had last year, but this time we were all there. Me, my mother, my beloved brothers, and.. my father. This might be the best holiday I've ever had in my life. And oh, we didn't take the tour, well same like last year. And it was fabulous.

You guys better visit my blog more often. Because I've got tons of pics to share here! Just be patient, and please wait for it ;) You'll see.

Friday, May 27, 2011

Bukan Semata-mata Pergi ke Sawah atau Bermain Layangan

Saya baru saja menjalani suatu program yang setiap tahun diadakan bagi siswi-siswi kelas XI di sekolah saya. Program tersebut disebut live-in. Memang sudah banyak pula sekolah-sekolah lain yang juga menjalani program ini, bahkan di SMP tempat saya bersekolah pun, sekarang program ini diadakan. Namun baru kali ini saya mendapat kesempatan untuk mengikuti live-in ini.

Desa yang kami tempati berada di dalam kabupaten Sleman. Lebih tepatnya lagi, sebagian dari kami ditempatkan di beberapa lingkungan di Paroki Klepu. Sedangkan sisanya bertempat di Samigaluh, Kulon Progo.

Bagi kami yang bertempat di Klepu, kami terbagi di beberapa daerah, seperti Pojok, Kleben, Sendangsari, dan Sendangrejo. Saya dan Nadia, teman sekamar saya, kebetulan mendapat Justify Fulldaerah Sendangrejo, yang kebetulan juga cukup jauh dari teman-teman saya yang lain.

Sebelum sampai ke rumah yang akan kami tempati, saya telah menyiapkan diri secara fisik ataupun mental, untuk melihat keadaan yang paling buruk yang dapat saya bayangkan. Saya tidak membawa keperluan-keperluan saya yang biasanya memenuhi meja rias di rumah saya. Saya tidak membawa bantal, selimut, atau boneka kesayangan saya (memang tidak punya sih). Saya tidak membawa sereal untuk menjaga-jaga kalau saya tidak akan menyukai makanan di sana. Saya hanya membawa kaos secukupnya. Saya sudah membawa deterjen untuk mencuci baju pakai tangan di sana. Ya, cukup. Intinya saya sudah benar-benar mempersiapkan diri saya untuk menginap selama 6 hari 5 malam di sebuah rumah yang keadaannya sungguh bertolak belakang dengan tempat tinggal saya di Jakarta.

Tanpa kami sangka-sangka, mobil yang mengantar kami dari paroki Klepu ke Sendangrejo tersebut berhenti di depan sebuah rumah yang jauh lebih baik dari ekspektasi kami. Jauh sekali.

Bagian lantai rumah seluruhnya sudah dilapisi oleh keramik, sedangkan dinding-dinding juga telah dicat dengan cat tembok. Kami sempat mengira, kami diturunkan di rumah yang salah. Tetapi ternyata tidak. Yang lebih mengagetkan lagi, orang tua kami di sana bekerja di kantor, dan memiliki toko pertanian. Mereka bukan petani, atau guru, atau tukang cuci, atau pengrajin, dan sebagainya. Mereka memiliki dua anak perempuan. Anaknya yang pertama baru saja lulus SMA, dan anaknya yang kedua baru saja menyelesaikan UN SMPnya. Rumah mereka sangat nyaman, cukup bersih, dan cukup luas. Mereka memiliki dua televisi, kulkas, rice cooker, dan kompor. Bahkan juga satu mobil, dan empat motor.

Hal tersebut semakin membuat saya bingung. Saya kira.. Desa yang akan kami tempati, tidak memiliki aliran listrik. Atau, rumah yang mereka tempati hanya berdinding bambu. Tetapi ternyata.. Saya dan Nadia diberi kesempatan untuk tinggal di tempat yang begitu nyaman. Kegiatan kami pun cukup beragam. Mulai dari pergi ke kota untuk menemani anak pertama Bapak dan Ibu untuk berkonsultasi mengenai kuliah, pergi ke gereja, doa rosario bersama, bermain layangan, bermain gamelan, membantu Ibu menyapu dan memasak, dan sebagainya.

Karena rumah yang kami tempati berlokasi cukup jauh dari rumah yang ditempati teman-teman kami lainnya, selama empat hari pertama kami sama sekali tidak bertemu dengan teman-teman lain. Dan jujur saja, saya sangat menikmati hari-hari itu. Hari-hari di mana kami lebih terfokus pada kegiatan live-in yang menekankan hubungan kami dengan keluarga yang bersangkutan, bukan bermain dengan teman-teman kami dari Jakarta yang tinggal sedusun. Lima hari tanpa fasilitas seperti di kota, seperti HP, laptop, internet, dll, sungguh menenangkan bagi saya dan Nadia. Kami pun cukup menikmati hari-hari itu. Hanya saja pada hari ke lima, kami sempat bertemu dengan beberapa teman kami yang ternyata memang ditempatkan di rumah-rumah yang cukup jauh dari rumah yang kami tempati. Mereka pun begitu antusias bercerita tentang keluarga baru mereka yang cukup beragam. Beberapa dari orang tua mereka bekerja sebagai petani dan guru. Sebagian dari mereka juga memiliki pengalaman menyentuh masing-masing.

Dan saya? Saya pun memiliki pengalaman yang menurut saya juga berbeda dengan mereka yang pergi ke sawah, ke sekolah tempat Bapak/Ibunya mengajar, atau ke pasar untuk membeli aneka jajanan dan bahan-bahan memasak. Saya juga mendapat banyak nilai-nilai baru yang sebelumnya tidak saya temukan di Jakarta. Hmm, mungkin pernah saya temukan, tetapi nilai-nilai itu lebih dapat saya hayati di Sendangrejo.

Bagi saya, makna kegiatan ini bukan semata-mata terlihat ketika kita pergi ke sawah, memberi makan kerbau di kandang, pergi ke pasar, atau bermain layangan. Namun saya lebih menekankan pada kehidupan yang jauh dari keluarga di Jakarta (atau tempat tinggal tetap kita lainnya), yang mengharuskan kita beradaptasi dengan keluarga baru di desa. Saya juga belajar untuk menerima orang lain apa adanya, tanpa melihat kita keturunan pribumi, Tionghoa, atau lainnya. Mereka di sana begitu terbuka, akrab satu sama lain, dan.. Hangat. Jujur saja, jarang sekali masyarakat seperti itu saya temukan di Jakarta.

Dan hari ini, saya pun kembali ke rumah dengan senyuman. Senyuman akan nilai-nilai baru yang saya peroleh, dan senyuman akan kehidupan kota Jakarta yang akan saya nikmati lagi.

Thursday, March 3, 2011

Ke mana?

Saya sedang sakit. Mungkin. Sesekali terpingkal-pingkal saat berjalan seakan saya sedang berjalan di atas bebatuan yang wujudnya tidak menentu. Saya tidak bisa mengira-ngira saya ada di mana dan waktu menunjukkan pukul berapa. Saya tidak bisa menerka untuk apa saya menulis dan mengemukakan semua pendapat saya, atau perasaan saya, atau pemikiran-pemikiran saya, atau bahkan tentang mimpi saya. Saya tidak bisa menjabarkan alasan-alasan saya bersikap labil seperti ini.
Jika diminta dijawab secara paksa, mungkin jawaban yang paling tepat adalah saya kehilangan potensi. Saya kehilangan potensi saya untuk menunjukkan saya adalah saya. Saya kehilangan potensi saya untuk membuat orang lain senang berada di samping saya. Saya kehilangan potensi saya untuk membuat orang lain nyaman bersama saya. Saya sepertinya hanya menemukan jalan buntu, yang tidak memiliki tanda apapun di sekitarnya. Di sekitar saya hanyalah mereka yang meneriakkan ejekan-ejekan untuk saya. Hanya mereka yang berusaha membuat saya menyerah dan akhirnya mati.
Saya tidak suka bermasalah dengan orang lain. Saya tidak suka mengadakan konflik dengan sesama. Saya tidak suka berselisih. Saya hanya suka hubungan harmonis yang ingin saya jalin dengan semua orang tanpa terkecuali. Namun mungkin keadaan tidak menyetujuinya. Atau mungkin, pikiran saya pun tidak mau mengikuti kehendak saya. Pada akhirnya pun pertengkaran itu terjadi di dalam jiwa.

Left




Yes, I did cut my hair.

Friday, February 18, 2011

Menyerah?

Hari ini saya berbicara (kalau bisa) singkat saja. Berhubung pagi sudah semakin dekat, dan saya juga harus tidur karena harus bangun lebih cepat. Tapi sebenarnya masih ingin berceloteh ria. Mungkin akhir dari tulisan ini adalah sebuah pertanyaan, atau sebuah bentuk protes, atau sebuah bentuk.. Ah apa saja lah.

Topiknya akan saya buka mulai dari pelajaran ekonomi saya di sekolah tadi. Kami sedang mempelajari tentang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Setelah membahas semakin dalam, akhirnya kami sampai pada pembicaraan mengenai masyarakat Indonesia. Memang hanya sebentar. Tetapi kalimat-kalimat yang diucapkan oleh guru saya itu sama seperti yang selama ini terngiang-ngiang di kepala saya. Mirip sekali dengan pemikiran saya tentang hal yang menjadi akar masalah kependudukan di Indonesia ini.

Kami berbicara tentang kualitas dan kuantitas penduduk di negeri ini. Mungkin sebelumnya saya memang pernah menulis sedikit tentang kualitas versus kuantitas, dan kali ini saya ingin membicarakannya sekali lagi, sekaligus memaparkan pendapat (serta mungkin perasaan) saya sekarang terhadap masalah itu.

Seperti yang kita semua ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber daya manusia yang sangat melimpah. Hal tersebut menjadi daya dukung bagi proses produksi yang akan mempengaruhi pembangungan ekonomi Indonesia. Sumber daya manusia yang melimpah dapat menjadi pendukung salah satu unsur kegiatan produksi yaitu tenaga kerja. Selain itu, jumlah penduduk yang tinggi juga akan meningkatkan jumlah konsumsi dalam masyarakat. Sehingga hal tersebut akan memicu kemajuan rumah tangga produksi dalam usahanya.

Tetapi sayangnya, kita harus kembali melihat pelaksanaannya. Berbagai peluang yang dapat membangun Indonesia memang dapat terlihat, tetapi hal tersebut kurang dimanfaatkan oleh negara kita. Bukan hanya pemerintah, bahkan oleh kita sendiri sebagai masyarakat.

Kuantitas penduduk Indonesia memang tinggi. Jumlah penduduk di Indonesia saat ini hampir mencapai 230 juta (menurut data tahun 2009). Tetapi apakah angka itu sebanding dengan kualitas tiap individu? Apakah angka itu merupakan suatu peluang atau hambatan? Pandangan seperti ini memang sudah seringkali dipaparkan oleh banyak orang. Tetapi bagaimana dengan realisasinya? Apakah menurut Anda situasi ini memungkinkan untuk diperbaiki?

Yang negara butuhkan adalah produktivitas penduduk. Ketika penduduk mulai produktif, tentunya setiap orang akan mudah terlibat dan berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan yang dapat membangun negara. Lalu apakah 230 juta jiwa di Indonesia ini produktif? Apakah sebagian besar dari mereka produktif? Atau setengahnya? Atau hanya sepertiganya? Atau seberapa?

Saya memang baru pemula dalam hal seperti ini. Saya memang baru belakangan ini lebih konsisten dalam memperhatikan keadaan sekitar, dan mulai berani mengemukakan pendapat saya. Saya memang baru berusia 16 tahun dengan pemikiran yang masih mentah. Saya memang masih terlalu muda, untuk berkata bahwa saya juga berkualitas. Tetapi saya hanya sedang berpikir, apakah mereka yang tergolong berkualitas (yang mungkin jumlahnya belum terlalu banyak), akan mempengaruhi mereka yang kurang berkualitas? Apakah 5 tetes cat warna putih akan mengubah drastis 10 tetes cat warna merah? Apakah semudah itu?

Kekuatan pikiran saya pun dapat dikatakan semakin berkurang. Dari 10, sekarang hanya 5. Dari yakin sekali, menjadi agak ragu-ragu. Segala bentuk harapan saya akan negara mulai memudar, dari warna merah pekat menjadi merah jambu. Saya bertanya pada diri saya sendiri, sedikit berpikir untuk egois. Pikiran saya mulai terbagi-bagi. Ada keinginan untuk hidup idealis dengan tujuan memajukan negara, dan juga keinginan untuk mencari kesuksesan sendiri sebagai individu yang tidak terikat suatu apapun, termasuk kewarganegaraan.

Entahlah. Saya pun masih sibuk dengan pikiran saya. Banyak di antara mereka yang berkualitas itu pergi, mencari kesuksesan yang lebih berharga di negeri orang. Mungkin saya akan bergabung?

Monday, January 24, 2011

Suara Hati Seorang Kekasih Bagai Nyanyian Surgawi

Tak akan berdusta
Walau ketamakan merajai diri yang penuh emosi





(Melly Goeslaw - Suara Hati Kekasih)

Friday, January 21, 2011

Rasa

Suatu malam ingin saya habiskan dengan menulis sesuatu. Bercuap-cuap tanpa suara. Bukan tanpa suara, tetapi tanpa kata-kata yang terlontar dari mulut. Yang ada hanyalah bunyi keyboard yang sesekali ramai, sesekali berhenti sama sekali. Ditemani lantunan lagu-lagu kegalauan malam hari ataupun saat hujan. Ini adalah malam. Malam yang dulu seringkali saya lewati. Malam yang seringkali saya nikmati. Malam yang sejak dulu saya sukai. Ditambah satu lagi.. Secangkir kopi hitam panas yang sesekali saya seruput untuk menghindari rasa kantuk.

Tetapi terkadang keadaan tidak mendukung suasana malam itu. Entah itu kondisi fisik, atau berbagi kepentingan lainnya yang mengurangi kenikmatan malam itu. Lalu pada malam ini saya menemukan kesempatan yang selama ini bisa dibilang hilang.

Sepertinya lebih baik saya langsung mengarah pada topik pembicaraan saja. Beberapa orang (dengan blog atau tulisan-tulisannya) menginspirasi saya untuk menulis sesuatu tentang pribadi manusia. Ya ini bukan analisis yang sengaja saya lakukan, ini hanyalah argumentasi. Baiklah, saya ini ingin membicarakan tentang pikiran dan kegelisahan setiap orang. Setiap manusia yang menjalani kehidupan di dunia ini.

Mereka yang memiliki blog atau pernah mempublikasikan tulisannya, sebagian besar terkadang mengalami masa yang disebut.. Masa labil. Di mana seseorang merasa emosinya naik turun. Merasa hidupnya monoton, atau merasa hidupnya terlalu tidak menentu. Atau mungkin, merasa hidupnya terkadang sempurna namun hampa. Masa di mana seseorang itu tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik, sehingga membuat pikiran dan tindakannya sedikit menyimpang dari biasanya.

Sebagian dari pemilik tulisan-tulisan itu merasa hidupnya hampa. Tidak ada orang lain dalam hidupnya yang bisa menjadi penolong baginya. Mereka merasa kesulitan dalam menumpahkan rasa, entah itu bahagia atau sedih. Mereka merasa kebingungan bagaimana caranya menjadi seorang individu yang independen, percaya diri, dan bahagia. Mereka menyebut-nyebut keputusasaan. Namun dari semua itu, saya menemukan beberapa sisi positif dari mereka.

Jika mereka berkata bahwa mereka kesulitan menumpahkan keluh kesah mereka, saya merasa mereka salah besar. Semua hal yang mereka tuangkan dalam paragraf-paragraf yang dapat dibaca banyak orang, menjadi salah satu sarananya untuk melampiaskan rasa sakit dalam hidupnya. Terkadang mereka menyebut diri mereka labil, tidak waras, aneh, dan sebagainya dalam tulisan-tulisan mereka itu. Tetapi pada dasarnya, apakah orang yang tidak waras akan mengakui bahwa ia tidak waras?

Jika mereka berkata bahwa semua unsur dalam dirinya adalah suatu hal yang negatif, mereka juga salah besar. Mari kita lihat. Saya pernah mengalami suatu masa yang membuat saya merasa kehilangan setengah jiwa saya. Terkadang saya menulis, merangkai kata-kata, membuat suatu karya sastra yang mengalir begitu saja tanpa tata bahasa, dan sebagainya. Hasil dari semua itu.. Indah. Jujur saja, terkadang saya merasa kegalauan hati itu membantu seseorang untuk menemukan rasa dari seni, terutama sastra.

Dulu saya adalah salah satu di antara mereka, yang dari tadi saya bicarakan. Ataukah sampai sekarang?

Saya pun tidak tahu jawabannya. Saya hanya bersyukur akan grafik kehidupan yang selama ini telah terlukis dalam perjalanan hidup saya. Saya mengalami kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kebanggaan, yang begitu kerap melatih emosi saya. Saya selalu mengambil dua sisi dari setiap peristiwa dalam hidup saya. Positif dan negatif. Hal tersebut selalu membantu saya untuk melewati berbagai peristiwa dalam keseharian saya. Saya pun berkembang. Semakin mengerti akan bermacam-macam hal di dunia ini. Semakin menyadari betapa menariknya hidup.

Berbagai kesulitan hidup mengajari saya banyak hal. Mulai dari bersyukur, berdoa, meminta tolong, berterimakasih, dan sebagainya. Saya pun terkadang mengakui kegalauan yang sesekali setiap orang perlukan. Kegalauan itu mengolah rasa. Tetapi perlu ada introspeksi, perbaikan, dan perkembangan diri.

Hidup itu indah. Klise, ya. Tetapi, pernyataan itu benar.

Sunday, January 16, 2011

Sunday, January 9, 2011

Jarak Abstrak

Ada gedung tinggi, tetapi ada yang membebani bahu.
Photobucket

Selalu ada jarak yang harus ada.
Antara satu orang dengan orang lain.
Antara satu kendaraan dengan kendaraan lain.
Antara satu gerakan dengan gerakan lain.
Antara satu tempat dengan tempat lain.
Antara satu kelas dengan kelas lain.
Antara satu jarak dengan jarak yang lain.
Antara satu hal dengan hal yang lain.

Memang sepantasnya begitu. Tetapi terkadang, jarak itu menempatkan diri seenaknya saja. Melempar jauh yang di depan, membuang jauh yang terbelakang. Jarak itu terkadang tidak tahu tempat. Jarak itu terkadang lupa mengukur dirinya sendiri.

Tetapi terkadang kesalahan juga bukan hanya dari jarak itu sendiri. Terkadang jarak itu memang tidak mengerti bagaimana harusnya menempatkan dirinya sendiri. Terkadang makhluk hidup pun yang lupa mengatur jarak itu sendiri. Lupa pada sesama dan dirinya sendiri. Lupa dengan jarak yang di antaranya. Terkadang manusia yang bertingkah. Terkadang manusia tidak memanfaatkan otaknya sebagai pusat saraf dari seluruh tubuh secara benar, untuk membantu dirinya mempertimbangkan segala kemelut hidup dan membantu dirinya menyeimbangkan jarak yang daritadi saya bicarakan. Saya bicara tentang materi, tentang sisi psikologis, dan sebagainya.

Kalau yang saya dengar dari seseorang bernama "Sudjiwo Tedjo", hidup berawal dari sebuah pertanyaan. Kemudian saya berpikir lagi, dan menemukan bahwa akhir dari hidup kita sendiri juga menjadi sebuah pertanyaan. Satu hari mungkin kita lalui tanpa amarah. Tetapi tidak mungkin kita lalui tanpa pertanyaan. Satu hari mungkin kita lalui tanpa jawaban jelas, tetapi tidak mungkin kita lalui tanpa pertanyaan. Dan kali ini.. Saya pun juga ingin mengajukan pertanyaan ini pada Anda..

Ada apa dengan jarak ini?

Saturday, January 1, 2011

Next

Let's go forward.

Photobucket
That was how it looks like on the New Year's Eve around Kelapa Gading roundabout. I was in La Piazza with my brother. It was a last-minute decision. I finally chose to take some pics around La Piazza (catching some great fireworks) for new year.

So here are the fireworks.
It kept smashing until 15 minutes after the countdown ended.
Photobucket
It was my first time taking pics of this kind of fireworks. Well it was tiring, but fun ; )

Photobucket
Photobucket
Photobucket
The last one is my favorite.

Well guys, all I have to say is HAPPY NEW YEAR 2011! I can't write a lot. Yea, maybe this is one of my resolutions for 2011. I gotta practice more to improve my writing. To improve my English. Hahaha. I guess I'd be writing my new-year-post afterward in Indonesian language, regarding that I am Indonesian ;) Huh there are tons of things to say here. To talk about.

Okay pals, enjoy 2011! I believe life must be more difficult, but I also believe that you must be able to struggle harder. And to reach your dreams by efforts, and prayers.

Happy holiday (which is almost over)!